JANGAN REMEHKAN ANAK INDIGO

Indigo: Kepribadian Kehidupan Lalu

Meski istilah indigo baru muncul, fenomena itu
sebenarnya sudah ada sejak zaman dulu. Bisa
diperkirakan, kemunculannya relatif makin banyak dari
waktu ke waktu. Mengapa?
Indigo adalah istilah yang muncul baru-baru ini saja,
walaupun fenomenanya sudah ada sejak jaman dahulu.
Cuma, bisa diperkirakan bahwa relatif kemunculannya
semakin lama semakin banyak.
Mengapa? Karena saat ini, abad 21 Masehi, waktunya
sudah sampai bagi jiwa-jiwa yang telah mencapai tahap
tertentu untuk kembali lagi ke dunia ini dan
menyelesaikan tugas mereka. Tugas mulia, tentu saja.
Dan reinkarnasi, tentu saja.
Itu kalau kita bicara dengan konteks reinkarnasi. Tapi
kita juga bisa bicara dengan konteks “ilmiah”. Yang
patut juga dipertanyakan sebenarnya. Apakah psikiatri
“ilmiah” ? Menurut saya: tidak. Para psikiater itu
cuma menganalisa berdasarkan teori-teori mereka saja.
Dan teorinya juga berdasarkan asumsi asumsi yang pada
gilirannya didasarkan pada paradigma.
Paradigma Psikiatri selalu berubah. Tanyakan kepada
psikiater yang kredibel, sudah berapa kali paradigma
ilmunya berubah sejak dipelopori oleh Sigmund Freud
Jadi, mau tidak mau kita harus membahas dan
mengevaluasi fenomena indigo ini dari berbagai sudut.
Tidak bisa dari sudut reinkarnasi saja, tetapi juga
tidak bisa dari sudut psikiatri saja.
Psikiatri contohnya, bisa saja mendiagnosa seseorang
yang dikategorikan indigo sebagai orang yang memiliki
“kepribadian terpecah”. Bisa saja, itu hak si
psikiater, tapi tentang diagnosa seperti itu benar
atau salah adalah urusan lain.
Kepribadian terpecah cenderung bersifat patologis,
destruktif terhadap dirinya sendiri dan lingkungan.
Itu jelas berbeda dari indigo.
Menurut saya, kepribadian terpecah terjadi karena alam
sadar tidak bisa berfungsi secara normal sehingga
bawah sadar memunculkan kepribadian lain untuk
mengimbangi kepribadian sadar yang tidak kompeten
untuk menghadapi realita itu.
Tetapi ada juga kepribadian lain yang muncul di
anak-anak indigo tertentu. Kepribadian itu adalah
kepribadian yang dewasa dan dapat melihat dengan mata
batin atau mata ketiga (yang memiliki aura berwarna
ungu atau indigo). Siapakah kepribadian “dalam” ini?
Menurut saya, itu adalah kepribadian dari anak itu
sendiri dari kehidupan lalu. Ya, kita harus positif
mengatakan bahwa itu adalah reinkarnasi.
Cuma, ada yang sadar dan menerima dan menjalaninya
secara wajar seperti anak-anak indigo itu. Ada juga
yang menekannya ke bawah sadar sehingga lama-kelamaan
menjadi tertekan dan muncul menjadi berbagai penyakit,
baik fisik maupun kejiwaan.
Anggota masyarakat lainnya kebanyakan masuk kategori
kedua itu, yaitu memori-memori dari kehidupan lalu
ditekan ke bawah sadar sehingga menjadi penyakit: bisa
menyerang diri sendiri, bisa menyerang lingkungan
dekatnya dalam berbagai bentuk gangguan walaupun
biasanya tidak terlalu berat.
Kembali lagi kepada anak-anak indigo. Apakah mereka
perlu penanganan psikiater? Jawabnya ya dan tidak.
Apabila bersifat “patologis”, jelas perlu.
Tetapi sama sekali tidak perlu apabila jelas-jelas
ternyata anak-anak indigo itu bisa membantu lingkungan
dekatnya menjadi lebih rohaniah, lebih manusiawi,
lebih ikhlas dan takwa membantu sesama.
Terus terang saya bias terhadap profesi psikiatri.
Alasannya cukup kuat: menurut riset yang jelas sangat,
sangat ilmiah di AS, tingkat bunuh diri tertinggi di
kalangan berbagai profesi dipegang oleh profesi
psikiatri. That’s true! Para psikiater itu seharusnya
dibantu lho! Saya yakin anak-anak Indigo bisa membantu
para psikiater yang stress dan tidak tahu harus
berbuat apa.
Kalau misalnya topik indigo ini masih kontroversial,
bisa saja kita adakan suatu ajang adu pendapat “live”
di depan kamera televisi. Silahkan disiapkan seorang
atau beberapa anak indigo. Di sebelah sana silahkan
seorang atau beberapa psikiater yang mau memberikan
diagnosanya setelah bertanya-jawab dengan mereka.
Di sebelah sini, saya sendiri akan mendiagnosa
anak-anak itu dan -yang ini tak boleh dilupakan-
juga mendiagnosa para psikiater itu satu persatu.
Live, langsung, di depan kamera TV.
Biarlah publik menilai karena memang kita harus jujur
terhadap diri sendiri dan masyarakat luas. Kita
menilai, mengevaluasi menggunakan “ilmu” kita
masing-masing. Para psikiater dengan ilmunya, dan saya
dengan ilmu saya yang hanyalah berupa intuisi yang
dibukakan oleh Yang di Atas sana